13 Jam Memutar Waktu di Solo
Minggu kedua bulan Oktober. Arsitektur Jawa-Eropa berdiri anggun, menyambut langkahku di tepi peron. Lampu-lampu berpendar temaram, dan waktu seolah melambat—memberi jeda untuk menata debar dada.
Ponsel menunjukan pukul tujuh, ada rasa gugup, tapi juga antusias. Janji temu dengan seseorang—alasan utama perjalanan ini—sudah di depan mata.
Kami bertemu di samping Lokomotif D30176. Senyumnya hangat—menenangkan, seperti rumah yang kurindukan.
“Langsung sarapan, ya?” tanyaku.
“Ayo,” jawabnya pelan.
Seolah ada kalimat yang tumbuh di dadaku, tentang bahagia yang baru kusadari nyata. Namun ia selalu gugur, sebelum sempat menjadi suara.
Beberapa menit kemudian, kami duduk berhadapan.
Aroma kaldu gurih dari soto mengepul hangat, menyatu dengan tawa yang pelan tapi tulus. Di antara sendok dan obrolan ringan, kami perlahan menjahit jarak yang sempat longgar.
Menyusuri Laweyan
Kami menyusuri gang sempit dengan tembok tinggi dan pintu kayu kuno. Suara sepatu beradu dengan paving block, menggema lembut di antara tembok batik tua. Sejarah seakan tercium di udara.
Pemandu bercerita tentang kejayaan saudagar Laweyan, dan setiap langkah terasa seperti menapak di masa lalu.
Sesekali aku menatapnya. Ia mendengarkan dengan antusias, matanya berbinar. Di antara kisah batik dan bangunan berumur ratusan tahun, aku sadar—sejarah paling indah hari ini bukan berasal dari masa lalu, tapi dari seseorang yang kini berjalan di sisiku.
Tur selesai menjelang tengah hari.
Ia menyodorkan sepotong Ledre Laweyan. “Cobain ini, Mas.”
Manis dan gurihnya berpadu sempurna—rasanya seperti kebahagiaan sederhana yang tak ingin cepat hilang.
Kami menunaikan Zuhur di masjid tertua Surakarta, lalu berpisah dari rombongan, memulai petualangan kecil kami sendiri.
Urat Nadi Kota dan Perjalanan Kecil di Balekambang
“Belum lengkap ke Solo kalau belum lewat urat nadinya,” katanya sambil menunjuk Jalan Slamet Riyadi.
Di Balekambang, kami duduk di bawah rindangnya pohon, mengamati tupai yang riang. Beberapa orang tampak bersantai; ada yang duduk berdua di bangku taman, ada yang berbagi cerita, ada yang sekadar menikmati teduh.
Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah kering dan daun yang bergesekan lembut.
Tawa kami menggema, ringan dan jujur—seperti dua orang yang baru saja menemukan sesuatu yang lama hilang.
Pandangan mataku tertumbuk pada motor roda empat yang melintas di kejauhan.
“Naik itu, yuk?” ajakku spontan.
Ia menatapku, lalu tersenyum kecil. “Boleh. Aku juga penasaran rasanya.”
Kami pun meluncur perlahan di bawah langit cerah. Matahari sore memantul di permukaan danau kecil, sementara dari kejauhan terdengar lantunan musik jalanan. Udara hangat, tidak terburu-buru.
Waktu melambat, memberi kami jeda menikmati setiap detik tanpa tergesa—seolah alam ikut bersekongkol, memberi ruang untuk memadatkan lima tahun dalam satu sore.
Senja dan Perpisahan
Perjalanan kembali ke stasiun terasa sedikit sunyi. Kami sempat singgah di toko oleh-oleh, lalu melintas di depan Masjid Sheikh Zayed yang megah. Kubayangkan, andai saja waktu bisa berhenti di sini—di antara lampu kota dan senyumnya yang tenang.
Kami menunaikan Maghrib di Masjid An Nuur, tak jauh dari peron. Saat keluar, ia menyerahkan sebuah bingkisan kecil.
“Ini buatmu,” katanya pelan. “Jangan dibuka sekarang, ya.”
Aku mengangguk. “Terima kasih.”
Kami berjalan menuju kursi tunggu. Di sana, keheningan terasa padat. Papan jadwal keberangkatan menampilkan angka yang terus mengejar, menghitung mundur waktu kami.
Saat berjabat tangan, genggamannya hangat—dan semakin ingin kulepaskan, semakin erat aku menggenggamnya.
“Sampai jumpa lagi,” ucapku lirih.
“Pasti,” jawabnya, tersenyum.
Ia menoleh tiga kali sebelum benar-benar hilang di antara keramaian stasiun. Aku masih melambaikan tangan sampai bayangnya lenyap.
Tak lama, keretaku datang. Dalam ranselku, ada kenangan tiga belas jam, dan sebuah bingkisan kecil.
Di dalamnya, bunga matahari kering berwarna jingga kekuningan—aromanya lembut, persis parfumnya. Ada secarik surat “Semoga bunga ini jadi penyemangatmu…”
Aku menatap bunga itu lama, lalu tersenyum.
‘Solo’—yang dulu berarti sendiri—hari ini memberiku arti—ada pertemuan yang membuat kesendirian terasa utuh.
Terima kasih yaa... kusimpan bunga ini 🌻 di mejaku. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya.


